Dulu, Ustadzah Dra. Tatu Mulyana tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi kenakalan putra ketiganya, Jeffry, yang tidak pernah mau menghentikan kenakalannya. Putra kecilnya yang ia lahirkan pada 12 April 1973, sangat luar biasa nakalnya, bagaimana jika sudah besar nanti. Jika terus-terusan begini setiap hari anak itu bisa babak belur dihukum oleh ayahnya, Ustadz Ismail Modal. Tidak mau ambil resiko lebih besar, Ustadzah Tatu cepat-cepat kirim 3 putranya sekaligus ke Pondok Pesantren Daarul Qolam di Gintung, Tangerang. Ketiga putranya yang dikirim itu adalah Abdullah Riyad, Aswan Faisal, dan Jeffry. Selain untuk menimba ilmu agama, keikutsertaan kedua kakak Jeffry ke pesantren tersebut sekaligus juga ditugaskan untuk mengawasi dan memperhatikan adiknya.
Hati ibunda Jeffry pun seketika lebih lega, keberangkatan anak-anaknya kepesantren Daarul Qolam lancar tanpa kendala. Ia berharap keberangkatan Jeffry dengan kedua kakaknya dapat membawa perubahan positif dalam kehidupan relijinya. Namun Jeffry tidak memberikan kesempatan ketenangan Ustadzah Tatu Mulyana berlangsung lama. Laporan demi laporan negatif mengalir dari pesantren di Gintung Tangerang itu. Apalagi kalau bukan disebabkan oleh “jagoan”nya Ustadzah Tatu, Jeffry yang ternyata masih suka melakukan tindakan nakal. Sekali waktu anak itu membolos belajar, di lain waktu dia pergi nonton bioskop. Dia malas untuk belajar dan sering tidur disaat pesantren tengah beraktifitas. Sebagai ibu, Ustadzah Tatu berharap putra ketiganya dimaafkan dan diberi kesempatan. Asa dan harap Ustadzah pun dikabulkan. Jeffry dipertahankan. Tapi saat dimana peraturan pesantren selalu diabaikan dan larangan-larangan pesantren tidak lagi digubris maka tak ada lagi alasan yang dapat dipertahankan. Kebijaksanaan pesantren terhadap seorang putra keluarga H. Ismail Modal dan Hj. Tatu Mulyana sudah mencapai titik klimaks. Tidak ada yang dapat dilakukan lagi oleh pihak pesantren Daarul Qolam kecuali harus mengeluarkan Jeffry dari pesantren tersebut dengan segera. Ustadzah Tatu tak lagi dapat berkata-kata. Ia cuma bisa tahan sesak didada. Tapi Jeffry itu putra kandungnya. Tidak mungkin ia menyerah merawat dan mendidik Jeffry. Jika bukan orangtuanya siapa lagi yang akan berupaya melakukan perubahan bagi Jeffry.
Kemudian Ustadzah Tatu begitu sabar dalam menghadapi ujian itu. Ia dengan ketabahannya memasukkan Jeffry ke sebuah sekolah Aliyah. Asa dan harap kembali dibentang tinggi. Ustadzah Tatu kembali berharap kebaikan buat putra ketiganya itu. Didalam rumah doa selalu dipanjatkan untuk sebuah perubahan. Namun hati Jeffry tidak melunak dengan apa yang telah terjadi. Hatinya tidak melembut dengan segala daya upaya yang dilakukan ibundanya.
Setelah apa yang telah dilakukan ibundanya selama ini. Setelah apa yang telah diupayakan keluarga, saudara dan kerabatnya, dan setelah apa yang telah diusahakan lembaga keagamaan dan sekolah Aliyah tempatnya belajar, kenakalan Jeffry ternyata tidak berhenti. Setelah bersekolah di Aliyah dan masuk kuliah jurusan Broadcast Jeffry malah terlibat pergaulan bebas. Ia mulai mengenal dunia malam, ia mulai mengenal diskotik, ia mulai mengenal minuman keras, ia mulai mengenal wanita. Bahkan lebih ekstreem lagi, ia sudah menjadi pengguna narkoba. Bergetarlah hati dan jiwa Ustadzah Tatu mendengar kelakuan anaknya. Jeffry yang ia lahirkan polos tak mengerti apa-apa kini menjadi duri dalam daging ketika dewasa. Jeffry saat itu bukan seperti Jeffry yang pernah ia lahirkan. Yang ia tahu, Jeffry yang ia lahirkan dan yang ditimang-timang setiap hari adalah Jeffry yang ia harapkan menjadi anak sholeh. jeffry yang dapat membuat orang tuanya bangga, Jeffry yang setiap waktu terdapat Al-Qur’an ditangannya, yang rajin beribadah, dan yang bisa memberi pencerahan kepada orang lain.
Rasa sedih menghujam begitu dalam. Tak terasa air mata basahi kedua matanya. Ustadzah Tatu adalah keluarga relijius, begitu pula keluarga suaminya, Ustadz Ismail Modal. Dimana dua keluarga ini dikenal masyarakat luas sebagai keluarga terhormat dan terpandang. Bukan dari materinya, bukan juga dari kedudukan, tapi dari kesuksesan agamanya. Lalu alasan apa yang akan ia katakan kepada masyarakat mengenai prilaku Jeffry. Malu jika ditanya masyarakat, malu kepada keluarga besarnya, malu kepada dirinya, dan yang lebih terpenting, ia malu pada Allah SWT. Apa yang akan ia katakan pada Allah kelak diakhirat dan apa yang hendak ia pertanggungjawabkan dihadapan Allah nanti atas kelakuan anak kandungnya.
Pencarian seorang ibu pada anaknya sesungguhnya tidak hanya berhenti pada sebuah stasiun. Jika tidak menemukan anaknya di satu stasiun niscaya seorang ibu akan tetap menelusuri dan mencari di stasiun-stasiun lain hingga ia menemukan kembali buah hatinya yang ia cintai. Ustadzah Dra. Tatu Mulyana gelar tikar sembahyang. Panjatkan doa pada Yang Kuasa. Panjatkan harap pada pemilik nyawa putranya. Ia inginkan putranya kembali, putra yang kecil dulu pernah ia pangku dan ia suapi. Sementara diluar sana Jeffry yang sedang didoakan tengah menikmati dentuman musik diskotik. Sementara dirinya tengah dalam kondisi fly, akibat narkoba yang sudah mengikat erat dirinya, hingga Jeffry tak lagi sadar dirinya siapa.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, namun asa kedua orang tua Jeffry tak pernah pupus atau berganti. Meski Jeffry semakin berani unjukkan jati dirinya yang ia rasa tidak salah. Ia pelajari gerakan dance di diskotik lalu ia ikuti setiap perlombaan dance yang diselenggarakan diskotik, bar, dan cafe. Beberapa piala pun ia peroleh sebagai pedancer terbaik.
Tidak berhenti sampai disitu, Jeffry ikutkan diri sebagai model acara fashion show yang digelar di beberapa diskotik. Ia juga ikutan casting di sejumlah Production House. Di tahun 1990 Jeffry mendapat peran di sinetron Pendekar Halilintar. Dan inilah titik terburuk hubungan antara Jeffry dan orang tuanya. Ustadzah Tatu nyaris menyerah, tapi beruntung suaminya, Ustadz Ismail Modal masih kuat untuk terus menentang apa yang dilakukan Jeffry. Akan tetapi Jeffry malah angkuhkan diri. Pada orang tuanya yang seorang Ustadz dan Ustadzah Jeffry pertahankan ego bahwa ia bukan seorang pemadat dan peminum miras, lalu keikutsertaan dirinya dalam dunia entertainment dan peran bukanlah sebuah kesalahan, karena itu adalah sebuah seni alami. Sangat kecewa dan sakit hati mendengar penuturan Jeffry. Darah daging mereka yang ternyata memiliki karakter bukan seperti karakter mereka.
Jeffry tidak menganggap penentangan terhadap kedua orang tuanya sebagai bentuk kepongahan terhadap yang hak, ia justru menganggap selama ini sikap orang tuanyalah yang salah dan apa yang dilakukannya itulah yang benar. Keyakinannya ini semakin kuat manakala ia memperoleh gelar Pemeran Pria Sinetron Remaja terbaik versi TVRI yang diadakan tahun 1991. Betapa bangga dan pongah dirinya saat menerima piala penghargaan itu. Segala keinginan dan citanya telah tercapai. Merasa semakin yakin dan ingin menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah hal terbaik dalam hidupnya. Dan tentunya, apa yang selama ini diinginkan orang tuanya tidak pernah memuaskan batin dan raganya. Baik Ustadz Ismail maupun Ustadzah Tatu, laksana oleng diri melihat apa yang terjadi pada putranya itu. Jika dinasihati agama rasanya percuma, karena Jeffry sudah banyak tahu tentang agama dan hukum-hukumnya. Keyakinannya pada apa yang dilakukannya adalah tidak lebih dari sebuah pembelaan diri dari hobi dan tindakan yang menyalahi syar’i. Maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali tetap berupaya merubah putranya sambil menunggu apa yang disebut dengan hidayah...
Bertahun-tahun ternyata Jeffry tak juga merubah diri, hingga di tahun 1999 ia menikahi wanita asal Semarang, Pipik Dian Irawati Popon, seorang model wanita yang cantik. Pernikahan dua insan itu tak lebih dari sebuah pernikahan antara model wanita dan aktor pendatang baru. Pipik tidak banyak menuntut. Ia bersedia menerima Jeffry sebagai pendamping hidupnya apa adanya. Pernikahan diadakan di Semarang tanpa resepsi dan pesta. Yang diharapkan Pipik bukan kemewahan pesta, tapi kesakralan memasuki gerbang rumah tangga.
Pengorbanan Pipik dianggap angin lalu oleh Jeffry. Tingkah hitamnya lagi-lagi diperlihatkan dihadapan istri yang baru saja dinikahinya. Jeffry habiskan malam pengantinnya dalam kondisi benar-benar sakaw...!! Pipik benar-benar terkejut melihat sebuah kenyataan dalam hidupnya. Ia bersedih melihat ulah suaminya, tapi dalam hatinya ia bertekad akan merubahnya. Atas bujukan istrinya, Jeffry mulai mau melakukan terapi diri di sejumlah ahli dan ustadz, terlebih saat mengetahui Pipik yang dicinta tengah hamil. Begitu kuatnya keinginan Jeffry untuk berhenti dari narkoba hingga setiap kali rasa kecanduan itu datang, Jeffry menyakiti dirinya sendiri. Awalnya pertama Pipik melihatnya ia merasa ekstreem, namun ternyata hal itu cukup efektif mengurangi kecanduan suaminya.
Suatu ketika secara tiba-tiba ibundanya, Ustadzah Tatu dan kakaknya, Ustadz Abdullah Riyadh mengajaknya umroh. Jeffry pun berangkat. Saat memasuki kota Makkah, saat dirinya berhadapan dengan Ka’bah, Jeffry yang dulu pernah pongah dan angkuh menjadi bukan siapa-siapa dirumah suci Allah itu. Debu dan pasir gurun mungkin lebih baik dari dirinya. Dan tiba-tiba tangis Jeffry meledak. Itulah hidayah ketika ia datang. Jeffry dibukakan mata hati dan batinnya atas segala perbuatan yang selama ini ia lakukan. Ia sangat-sangat menyesal. Film dirinya seolah tengah diputar kembali oleh Allah tepat ketika ia berhadap-hadapan dengan Ka’bah. Jeffry tidak kuat. Rasa malu pada Allah mengapa sangat menderanya saat itu.
Kebodohannya dimasa lalu, rasa malu yang teramat sangat, dan penyesalan yang sudah berada dititik puncak. Tak sadar diri ia adu kepalanya berkali-kali di dinding Ka’bah. Tak peduli lagi dengan rasa sakit, apalagi dengan ribuan orang yang tengah thawaf disekitar Ka'bah. Yang ia tahu hanya meminta maaf, meminta ampun, mengharap belas, dan meminta kasih Sang Empunya langit dan bumi. Maka Jeffry pun memasuki kondisi taubatan nasuuha.............
Sepulangnya dari Mekkah, kakak Jeffry, Ustadz Abdullah Riyadh mewarisi sesuatu padanya. Jeffry harus meneruskan dakwahnya di Jakarta. Genggaman dan rangkulan kakaknya saat serah terima tugas itu kelak akan membuatnya yakin untuk mantapkan hati dan langkahkan diri menjadi sosok pendakwah yang digandrungi di negeri ini......
Dimalam yang sepi, pada 26 April 2013, Allah menjemputnya disebuah persimpangan jalan. Disaksikan pepohonan dan binatang malam, Ustadz Jeffry hembuskan nafas terakhir dengan senyum kemenangan. Ustadzah Tatu menangis bangga. Putranya kembali keharibaan-Nya dalam keadaan bersih dan mulia...
0 komentar:
Posting Komentar - Back to Content